Proses hilirisasi riset harus terus didorong dalam pengembangan Jamu dan diintegrasikan dengan Pelayanan Kesehatan Tradisional. |
JamuDigital.Com- MEDIA JAMU, NOMOR SATU. Jamu memiliki sejarah panjang, dalam menunjang kesehatan bangsa Indonesia. Ke depan, dengan semakin banyaknya hasil riset ilmiah Jamu, dapat semakin meningkatkan peran jamu dalam program kesehatan di Indonesia.
Peran dari lembaga terkait, untuk bersinergi menjadi harapan banyak pihak untuk membawa Jamu lebih maju lagi.
Jamu dapat menjadi bagian penting dari upaya kesehatan di Indonesia, dengan melibatkan semua pihak stakeholders Jamu.
1.BRIN Meriset dan Melakukan Inovasi Produk Jamu
BRIN sebagai lembaga riset dan inovasi dapat menjadi pelopor dalam hiliritasi hasl riset obat dari bahan baku alam Indnonesia.
Seperti kita ketahui bersama pada era globalisasi ini pemanfaatan obat herbal telah meluas ke seluruh dunia dan dikenal sebagai tren gaya hidup kembali ke alam atau back to nature.
Indonesia dengan keanekaragaman hayati yg melimpah dan belum termanfaatkan secara optimal mempunyai peluang yang tinggi untuk mengambil peran melalui pengembangan industri herbal medicine, cosmeceutical dan nutraceuticall.
Di sisi lain, potensi pengembangan bisnis obat herbal di dalam negeri masih terbuka lebar, dengan adanya kebiasaan konsumsi jamu masyarakat Indonesia.
Riset kesehatan pada tahun 2018, datanya menunjukkan 48% masyarakat mempunyai kebiasaan menggunakan pelayanan kesehatan tradisional dalam upaya kesehatan, salah satunya dengan mengkonsumsi jamu.
"Hal ini menunjukkan bahwa budaya minum jamu sudah merupakan tradisi leluhur bangsa yang perlu dilestarikan dan dikembangkan," ungkap Kepala Organisasi Riset Kesehatan (ORK) Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN), NLP Indi Dharmayanti pada webinar memperingati Hari Kebangkitan Teknologi Nasional (HAKTEKNAS) ke-27 seperti dikutip di laman web BRIN.
Bertajuk "Saintifikasi Jamu: Mengungkap Warisan Budaya untuk Menyehatkan Bangsa", dan di moderatori oleh Yuli Widiastuti, Kepala Pusat Riset Bahan Baku Obat dan Obat Tradional BRIN (PRBBOOT), yang dihelat pada 19 Agustus 2022.
Indi menyampaikan bahwa peluang HAKTEKNAS ke-27 dapat menjadi momentum untuk mendorong kebangkitan industri herbal berbasis inovasi hasil implementasi teknologi terkini.
"Untuk menghasilkan produk yang semakin aman, bermutu dan berkhasiat, tentunya untuk menghasilkan produk herbal tersebut dibutuhkan landasan riset yang kuat dari segala aspek, di bagian hulu perlu di dorong riset dalam rangka penyediaan bahan baku yang cukup, bermutu dan berkelanjutan," tuturnya.
Dirinya juga menyampaikan dengan terbitnya Keputusan Menteri Kesehatan tentang formularium fitofarmaka, maka penggunaan fitofarmaka dalam pelayanan kesehatan formal yang akan masuk ke dalam skema pembiayaan Jaminan Kesehatan Nasional (JKN).
"Momentum ini menjadi penting untuk direspon melalui intensifikasi riset pengembangan fitofarmaka guna menyediakan lebih banyak pilihan fitofarmaka yang masuk keformulatorium nasional," jelas Indi.
Lebih lanjut, Indi menyampaikan riset ini dapat dimulai dengan pemetaan penggunaan jamu, Obat Herbal Terstandar (OHT) dan fitofarmaka di sarana fasilitas pelayanan kesehatan, dan hasilnya menjadi data basis pengembangan formula apa yang dibutuhkan mendukung penggunaan regimen terapi konvensional.
- Berita Terkait: BRIN Uji Klinis Suplemen Herbal untuk COVID-19
- Berita Terkait: Beli NOSTEO dan NOKILIR dari Brunei. Wow Era Digital...Makin Asyik
- Berita Terkait: 15 Khasiat Buah Naga Bagi Kesehatan Tubuh
Disamping itu, tentunya hasil saintifikasi jamu berupa 11 ramuan jamu scientific yang telah dilaksanakan oleh Kementerian Kesehatan dapat dikembangkan menjadi OHT atau fitofarmaka dengan riset lanjutan yaitu peningkatan dalam bentuk sediaan ke arah komersial produk.
"Saya berharap dengan webinar ini mampu melahirkan ide dan inovasi terkait obat herbal atau jamu kepada seluruh yang hadir pada momen hari ini," ucap Indi.
2.Strategi Penguatan Riset
Dalam pandangan Chaidir Amin, Perekayasa Ahli Madya PRBBOOT BRIN dalam paparannya menjelaskan mengenai strategi penguatan riset tanaman obat untuk meningkatkan mutu bahan baku jamu.
"Dukungan riset bagi Bahan Baku Obat Bahan Alam (BBOBA) yang bermutu yaitu ketersediaan BBOBA dengan mutu yang baik atau konsisten dan jumlah yang berkelanjutan, sangat diperlukan untuk meningkatkan keamanan dalam penggunaan, manfaat bagi masyarakat serta daya saing industri," tuturnya.
Dirinya juga menyampaikan bahwa sumber tanaman obat 85% diperoleh dari alam sebagai tumbuhan liar, yang berdampak mutu beragam, adulterasi, kepunahan dan pasokan tidak berkelanjutan.
Selain itu pelaku produsen tanaman obat didominsi petani pengumpul bukan penanam. "Sehingga kita harus tingkatkan sisi produsennya, dan kita harus buka sentra-sentra produksi di tempat lain," tutur Chaidir.
"Selain riset ilmu hayati dan keteknikan, dibutuhkan juga riset sosial ekonomi untuk menghasilkan kebijakan dan regulasi bagi intervensi di bidang ekonomi mikro, perdagangan dan kelembagaan dalam bisnis BBOBA, dan di BRIN semuanya sudah ada, kita tinggal bekerja sama dengan perguruan tinggi dan pemerintah agar semuanya bisa terselesaikan dengan paripurna," jelas Chaidir.
"Untuk meningkatkan difusi dan adopsi IPTEK produksi BBOBA dapat digunakan model konsorsium kemitraan qudruple helix yang sudah kita laksanakan sampai saat ini, sehingga meningkatkan mutu BBOBA dan jumlah sentra produksi tanaman obat dan BBOBA," tandasnya
3.Ekosistem Pemanfaatan dan Pengembangan Jamu
Narasumber berikutnya, Agung Eru Wibowo, Perekayasa Ahli Utama PRBBOOT BRIN memaparkan mengenai grand design riset pengembangan jamu untuk mendukung program transformasi kesehatan sebagai sumbangsih pemikiran untuk peningkatan pemanfaatan dan pengembangan jamu.
"Kita mempunyai modal dasar yang cukup kuat seperti warisan budaya, kearifan lokal, pengetahuan tradisional, ramuan tradisional, potensi tanaman obat dan sumberdaya hayati lain, industri.
Sumber daya manusia, regulasi, potensi pasar, lembaga riset dan perguruan tinggi serta asosiasi, menjadi input yang sangat penting untuk dilakukan suatu proses untuk menghasilkan output yang diharapkan," jelas Agung.
"Terbangunnya sebuah ekosistem pemanfaatan dan pengembangan jamu, dimana dengan semua sumberdaya yang ada, kita bisa mendapatkan penguatan regulasi, penguatan kelembagaan pelaksana, penguatan program integrasi dan penguatan studi riset dan inovasi," tambahnya.
Agung juga menyampaikan dengan penguatan yang kita miliki, "Kami berharap bisa mengeluarkan output-output seperti terbangunnya body of knowledge jamu, mendorong terbangunnya industri pemanfaatan dan pengembangan jamu yang kuat, terbangunnya budaya penggunaan jamu pada masyarakat, terbangunnya jamu sebagai Brand Indonesia," harapnya.
4.Integrasi Jamu dalam Pelayanan Kesehatan Tradisional
Sedangkan, Lucie Widowati, Peneliti Ahli Utama PRBBOOT BRIN, menjelaskan mengenai penguatan bukti ilmiah kearifan lokal ramuan dan produk obat tradisional di fasilitas pelayanan kesehatan.
Dirinya menyampaikan Undang-Undang Kesehatan Nomor 36 menyatakan bahwa pelayanan kesehatan tradisonal ini merupakan salah satu upaya kesehatan.
"Namun tidak mudah dan sampai saat ini masih banyak kendala, tarik menarik dengan pihak konvensional, walaupun dukungan dari berbagai organisasi dokter sudah cukup banyak tapi masih banyak kendala yang dihadapi," jelasnya.
Lucie juga menyampaikan beberapa usulan pengintegrasian obat tradisional di pelayanan kesehatan yaitu: 1. Jamu sebagai modalitas pelaku dokter konvensional dan tenaga komplementer harus mendapat pengakuan dari profesi tenaga kesehatan, bahwa jamu aman, berkhasiat (efikasi) dan terstandar, 2. Perkuat metodologi dan regulasi yang mendukung obat tradisional dapat dilayankan di Fasyankes.
3. Metode pembuktian efikasi jamu menggunakan reverse farmakologi melalui penelitian berbasis pelayanan, 4. Perbanyak fitofarmaka dengan jenis indikasi sesuai kebutuhan, melalui kajian penggunaan jamu TR di masyarakat.
5. Indikasiobat tradisional yaitu promotive, preventive, paliatif, kuratif ringan, adjuvant, dan 6. Dikembangkan simplisa jamu tunggal yang tersaintifikasi agar dapat digunakan dalam pelayanan kesehatan formal.
Dalam kesempatan yang sama, Danang Ardiyanto, Peneliti Ahli Muda Kementerian Kesehatan, paparannya mengenai best practices penggunaan jamu dalam penelitian berbasis pelayanan kesehatan.
Danang mengambil kesimpulan saintifikasi jamu (penelitian berbasis pelayanan) dapat terus diterapkan di Fasilitas pelayanan kesehatan dengan tetap menerapkan Evidence Based Practice (EBP), dan tetap diperlukan kolaborasi Fasyankes/Kemenkes, Lembaga Riset (BRIN), industri, media, akademisi dalam melanjutkan program saintifikasi jamu. (Sumber Berita: https://www.obatnews.com/herb/pr-4464224698/upaya-brin-mendukung-peningkatan-kesehatan-melalui-pengembangan-jamu?page=5 ). Redaksi JamuDigital.Com