Intervensi Dalam Percepatan Penurunan Stunting
Tanggal Posting : Selasa, 30 Agustus 2022 | 08:42
Liputan : Redaksi JamuDigital.Com - Dibaca : 1846 Kali
Intervensi Dalam Percepatan Penurunan Stunting
Pemerintah menargetkan penurunan prevalensi stunting pada bayi di bawah lima tahun (balita) hingga 14 persen pada 2024.

JamuDigital.Com- MEDIA JAMU, NOMOR SATU. Dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2020-2024, pemerintah menargetkan penurunan prevalensi stunting pada bayi di bawah lima tahun (balita) hingga 14 persen pada 2024.

Data Survei Status Gizi Indonesia (SSGI) tahun 2021 menunjukkan prevalensi stunting Indonesia mencapai 24,4 persen. Dibutuhkan upaya yang lebih konkret untuk mencapai target tersebut. Guna mengejar target penurunan, pemerintah mengeluarkan Peraturan Presiden Nomor 72 Tahun 2021 tentang Percepatan Penurunan Stunting.

Regulasi ini diharapkan dapat memperkuat aspek kelembagaan dan intervensi dalam mencegah stunting. Di masyarakat, stunting umumnya dipersepsikan sebagai "anak pendek". Definisi sesungguhnya dari stunting adalah gangguan pertumbuhan dan perkembangan anak akibat kekurangan gizi kronis dan infeksi berulang.

Gangguan ini ditandai dengan tinggi dan berat badan yang di bawah standar. Gangguan atau kegagalan tumbuh kembang ini dipengaruhi berbagai faktor langsung maupun tidak langsung.

Sekretaris Direktorat Jenderal Siti Nadia Tarmizi, M.Epid., mengatakan, anak mengalami stunting karena tidak mendapatkan asupan gizi yang mencukupi sesuai dengan usianya untuk pertumbuhan fisik dan perkembangan kecerdasan.

"Mengapa anak bisa gagal tumbuh kembang? Karena asupan makanan, terutama gizinya, tidak sesuai dengan usia pertumbuhannya," kata dia. Menurut Nadia, anak yang stunting sudah terlambat untuk ditangani karena kekurangan gizinya sudah berlangsung cukup lama dan terus menerus.

Oleh karenanya, kata mantan juru bicara Kementerian Kesehatan ini, yang harus dilakukan adalah upaya pencegahan, bukan penyembuhan. Urgensi penurunan stunting juga berkaitan dengan momentum bonus demografi pada 2030-2040 mendatang.

Tingginya angka stunting tentu akan menciptakan generasi yang tidak sehat, tidak bisa bekerja dengan maksimal, tidak produktif, dan sulit berkontribusi dalam menggerakkan perekonomian. "Dari sisi ekonomi, mereka otomatis tidak akan memberikan sumbangan produktivitas yang baik.

Dari sisi kesehatan, mereka akan lebih rentan sakit dan akan lebih punya masalah dengan kesehatan," terang Nadia. Berbagai Intervensi Dalam peraturan presiden tadi disebutkan bahwa upaya percepatan penurunan stunting dilakukan melalui lima pilar strategi nasional.

Pilar itu adalah komitmen dan visi di lembaga pusat dan daerah; komunikasi perubahan perilaku; konvergensi intervensi spesifik dan sensitif; ketahanan pangan dan gizi; serta data informasi, riset, dan inovasi. Intervensi spesifik akan mengatasi penyebab langsung stunting dan intervensi sensitif untuk penyebab tidak langsungnya.

Kedua intervensi ini dilakukan dalam jangka panjang dan menyasar lima kelompok, yaitu remaja, calon pengantin, ibu hamil, ibu menyusui, dan anak balita. Peraturan tadi juga menyebut beberapa hal yang menjadi tugas pokok dan tanggung jawab Kementerian Kesehatan.

Yang pertama adalah pemberian tambahan asupan gizi bagi ibu hamil. Hal lain adalah pemberian tablet tambah darah (TTD) bagi ibu hamil minimal 90 tablet selama kehamilan dan pemberian TTD setiap minggu selama setahun kepada remaja putri, terutama anak sekolah kelas 7 dan 10.

Pemberian TTD ini penting karena wanita Indonesia, khususnya di daerah perdesaan, cenderung kurang gizi dan mengalami anemia. Padahal, menurut Nadia, darah berperan penting terutama bagi ibu hamil dan anak yang dikandungnya.

Masa kehamilan menjadi bagian dari periode emas pertumbuhan seorang anak selama 1.000 hari pertama kehidupan, dari sejak janin hingga usia dua tahun. "Anemia itu terkait kemampuan darah membawa oksigen dan zat makanan.

Jika anak mengalami anemia, maka (oksigen dan zat makanan) tidak akan sampai ke anaknya dengan baik. Ini menjadi salah satu faktor penyebab gagal tumbuh kembang anak," ujarnya. Ibu hamil tidak boleh kekurangan gizi dan darah.

Akan tetapi, pemenuhannya juga tidak bisa dilakukan secara instan selama masa kehamilan saja tapi sudah dibentuk sebelumnya. Oleh sebab itu, remaja putri sedari dini sudah harus diperkuat dengan pemberian TTD, selain mencukupi kebutuhan gizi lainnya.

Intervensi lainnya dilakukan kepada balita. Bayi yang berusia kurang dari enam bulan harus dipastikan mendapatkan air susu ibu (ASI) eksklusif dan dilanjutkan dengan makanan pendamping ASI hingga usia 23 bulan.

Balita yang mengalami gizi buruk dan gizi kurang harus mendapatkan tambahan asupan gizi yang memadai dan layanan yang tepat. Balita juga harus mendapat imunisasi dasarnya secara lengkap.

Hal terakhir adalah pemantauan pertumbuhan dan perkembangan balita. Dalam hal ini, pos pelayanan terpadu (posyandu) memiliki peran sentral. Sebagai upaya kesehatan berbasis masyarakat posyandu mengadakan beberapa kegiatan, seperti kesehatan ibu dan anak (KIA), keluarga berencana (KB), imunisasi, konsultasi, dan edukasi hidup sehat.

Di posyandu, ibu hamil dan ibu menyusui yang mengalami kekurangan gizi selama kehamilan atau anaknya mengalami gangguan pertumbuhan akan dididik atau mengikuti konseling dahulu sebelum mendapat pemberian makanan tambahan (PMT).

Pemeriksaan kesehatan dan pemantauan status gizi ini menjadi tahapan deteksi dini agar anak tidak jatuh ke dalam gizi kurang, gizi buruk, dan menjadi stunting. Nadia memaparkan saat ini ada sekitar 300 ribu lebih posyandu di seluruh Indonesia tapi belum semua desa memilikinya.

Selain itu, tidak semua posyandu buka dan memberikan layanan di masa pandemi COVID-19. Untuk itu Kementerian Kesehatan akan memperkuat posyandu, yang menjadi bagian dari pilar pertama transformasi kesehatan, dengan membentuk posyandu prima.

"Posyandu prima akan menjadi pengampu untuk posyandu di tingkat dusun, desa, dan rukun tetangga. Dengan memperkuat posyandu kami berharap penanganan stunting akan lebih optimal," jelas Nadia.

Intervensi spesifik ini tidak akan adekuat tanpa dukungan intervensi sensitif yang digawangi oleh Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) selaku pelaksana Tim Percepatan Penurunan Stunting.

Upaya ini lebih banyak melibatkan lintas sektorseperti Kementerian Dalam Negeri, Kementerian Agama, serta Kementerian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal, dan Transmigrasi dan pemerintah daerah.

Ada 11 indikator sasaran yang harus dicapai hingga 2024, yakni pelayanan KB pascapersalinan, pencegahan kehamilan yang tidak diinginkan, pemeriksaan kesehatan calon pasangan usia subur, akses air minum layak bagi rumah tangga, akses sanitasi layak di pemerintah daerah prioritas, Jaminan Kesehatan Nasional bagi penerima bantuan iuran, pendampingan stunting bagi keluarga berisiko, bantuan tunai bersyarat bagi keluarga miskin dan rentan, bantuan sosial pangan bagi keluarga miskin dan rentan, serta penghentian kebiasaan buang air besar sembarangan.

Faktor nonkesehatan, terutama sosial, budaya, dan lingkungan, juga menjadi perhatian. Untuk itu, pendampingan bagi keluarga menjadi krusial. "Ada konseling parenting untuk membentuk keluarga. Jika menikah, anaknya harus dirawat, bukan kasih anak apa adanya. Orang tua harus diedukasi tentang bagaimana merawat anak," ucap Nadia. (Sumber Berita: Mediakom, Kemenkes RI, Edisi 144, Juli 2022, Hal 16-17). Redaksi JamuDigital.Com


Kolom Komentar
Berita Terkait

JAMU DIGITAL: MEDIA JAMU, NOMOR SATU

Tentang Kami

@ Copyright 2024. All Right Reserved.  www.jamudigital.com

  Link Media Sosial Jamu Digital: