Empat Strategi Hilirisasi OMAI agar Masuk JKN
Tanggal Posting : Senin, 22 Maret 2021 | 08:44
Liputan : Redaksi JamuDigital.Com - Dibaca : 2119 Kali
Empat Strategi Hilirisasi OMAI agar Masuk JKN
Pengembangan obat bahan alam menjadi OHT, Fitofarmaka merupakan pembuktian ilmiah OMAI: dapat digunakan substitusi atau komplementer terapi suatu penyakit.

JamuDigital.Com-Media Jamu, Nomor Satu. Ada empat strategi untuk mewujudkan hilirisasi OMAI-Obat Modern Asli Indonesia, agar potensi obat herbal Indonesia dapat dimanfaatkan oleh masyarakat Indonesia dan menjadi bagian dari sistem Jaminan Kesehatan Nasional.

Keempat strategi tersebut adalah:

  • Membentuk Satgas Percepatan Pengembangan dan Pemanfaatan Fitofarmaka (KepMenkoPMK No. 22/2019)
  • Mendorong revisi Permenkes No. 54 Tahun 2018 tentang Penyusunan dan Penerapan Formularium Nasional (Fornas) dalam Penyelenggaraan Program Jaminan Kesehatan, agar OMAI masuk ke dalam Formularium Nasional (Fornas)
  • Memasukkan OMAI ke dalam JKN
  • Mendorong pemanfaatan OMAI dalam Sistem Kesehatan Nasional

Demikian dikemukakan oleh Deputi Bidang Pengawasan Obat Tradisional, Suplemen Kesehatan dan Kosmetik Badan POM, Dra. Reri Indriani, Apt., M. Si, pada Pekan Ilmiah Tahunan (PIT) Perkumpulan Disiplin Herbal Medik Indonesia (PDHMI), Sabtu, 20 Maret 2021.

Potensi bahan herbal Indonesia memberi peluang sebagai produk Jamu atau OMAI (OHT dan Fitofarmaka), lanjut Reri Indriani, dan penemuan/pengembangan obat herbal terus dikembangkan menuju hilirisasi produk OMAI.

"Produk OMAI harus didukung pemanfaatannya di masyarakat Indonesia. "Badan POM akan selalu hadir mendukung hilirisasi produk obat bahan alam," tegasnya.

Adapun tantangan Uji Klinik OMAI & Peran Badan POM dalam pengembangan OMAI, adalah sebagai berikut:

Tantangan Uji Klinik OMAI:

  • Kurangnya kesiapan serta pemahaman peneliti dan site penelitian untuk melaksanakan uji klinik sesuai dengan standar Good Clinical Practice-GCP/Cara Uji Klinik yang Baik
  • Adanya regulasi terkait pelayanan kesehatan yang tidak dapat mengakomodir pasien sebagai subjek penelitian uji klinik
  • Terbatasnya fasilitas yang dimiliki RS/site uji baik untuk laboratorium, sarana perawatan, dan lain-lain
  • Data uji praklinik tidak sejalan dengan uji klinik yang akan dilakukan

Peran Badan POM dalam Pengembangan OMAI:

  • Pendampingan penyusunan protokol uji dan pendampingan pelaksanaan uji klinik
  • Percepatan hilirisasi produk hasil riset
  • Penyusunan/revisi pedoman/regulasi terkait Uji Klinik dan Uji pra klinik obat herbal
  • Coaching clinic
  • Pelatihan Cara Uji Klinik yang Baik (CUKB) bagi peneliti

Prof Keri dan Reminda

Keterangan Foto: Prof. Dr. Apt. Keri Lestari, M.Si. Guru Besar bidang Farmakologi dan Farmasi Klinik UNPAD (kiri), dan Dr. Rimenda Sitepu, M.Si, Sp.FK, Pengurus PDHMI Pusat.  

Prof. Dr. Apt. Keri Lestari, M.Si. saat memberikan tanggapan mengatakan: "Jika dikatakan obat sudah lengkap evidence based-nya baik itu dari uji pra klinik dan uji klinik yang kemudian mendapatkan klaim sebagai Fitofarmaka, dan itu menjadi OMAI, kita sangat bangga, jika kita memang menjadikan produk tersebut menjadi pilihan pertama untuk dijadikan alternatif di dalam sistem kesehatan nasional."

Dr. Raymond Tjandrawinata, MS., MBA, Pakar Farmakologi Molekuler memaparkan bahwa para Dokter di Korea telah meresepkan obat herbal sebanyak 15,26%, di China 12,63%, Taiwan 9,69%. Bahkan Dokter di Jerman lebih 60% yang menggunakan naturopathy.

"Klinisi siap menerima obat herbal jika ada data klinis, diklasifikasikan OHT atau Fitofarnaka. Tantangan saat ini adalah meyakinkan dokter bahwa efikasi obat herbal sama dengan efikasi obat kimiawi. Perlu edukasi dan sosialisasi, ini diharapkan peran dari PDHMI. Perlu dukungan pemerintah, agar dimasukkan dalam formularium nasional untuk JKN," urainya.

Sedangkan Dr. Rimenda Sitepu, M.Si, Sp.FK, Pengurus PDHMI Pusat menjelaskan panjang lebar tentang uji klinis obat herbal, yaitu uji pada manusia dalam rangka pengembangan obat herbal.

"Dilakukan minimal setelah diperoleh data uji toksisitas akut dan toksisitas subkronik. Merupakan studi experimental terdiri dari 4 fase," jelasnya.

Rimenda Sitepu menilai uji klinis terhadap Herbal lebih ditujukan untuk pengembangan herbal Indonesia, dalam rangka pemanfaatan herbal di fasilitas kesehatan formal. Jenis uji klinis, adalah sebagai berikut:

  • Fase 1: Untuk melihat Keamanan/toleransi pada subjek sehat, 20-100 orang
  • FASE II: Untuk melihat khasiat subjek sakit dengan subjek terbatas, 100-200 orang
  • FASE III: Untuk melihat khasiat dan efek samping pada subjek yang lebih banyak, minimal 500 orang
  • FASE IV (post marketing surveilance): Evaluasi produk obat yang telah beredar di masyarakat

Pengembangan obat bahan alam menjadi OHT maupun FF merupakan upaya pembuktian ilmiah OMAI dapat digunakan sebagai substitusi atau komplementer dalam penanganan atau terapi pada kondisi suatu penyakit.

"Diperlukan banyak penelitian obat bahan alam, agar dapat menjadi pertimbangan bagi dokter untuk digunakan dalam usaha untuk pengobatan pasien berbasis EBM," Rimenda Sitepu memaparkan. Redaksi JamuDigital.Com


Kolom Komentar
Berita Terkait

JAMU DIGITAL: MEDIA JAMU, NOMOR SATU

Tentang Kami

@ Copyright 2024. All Right Reserved.  www.jamudigital.com

  Link Media Sosial Jamu Digital: