Suasana FGD Kajian Kebijakan Pengembangan Obat Tradisional Indonesia. Sub Tema: Pandangan Battra dan SP3T terkait Obat Tradisional, pada Kamis, 24 September 2020. |
JamuDigital.Com- MEDIA ONLINE & MARKETPLACE JAMU INDONESIA. Direktorat Penelitian Universitas Gadjah Mada (UGM) Yogyakarta kembali mengadakan Kegiatan "Focus Group Discussion Kajian Kebijakan Pengembangan Obat Tradisional Indonesia". Sub Tema: Pandangan Battra dan SP3T terkait Obat Tradisional secara virtual pada Kamis, 24 September 2020.
Dipandu oleh moderator, Prof. Dr. Subagus Wahyuono M.Sc, Apt. yang melemparkan berbagai problematika tentang pengembangan OT, sehingga memantik untuk didiskusikan- khususnya yang terkait dengan posisi Battra dalam Kebijakan OT di Indonesia
Prof. Drs. Subagus Wahyuono, MSc., PhD (Fakultas Farmasi UGM) dalam kegiatan ini juga bertindak sebagai Peneliti Utama.
Kesempatan pertama disampaikan kepada Dr. dr. Ina Rosalina Dadan, Sp.A., M.Kes., M.H.Kes.- yang pernah menjabat sebagai Direktur Pelayanan Kesehatan Tradisional, Kementerian Kesehatan RI., kini beliau sebagai Dokter Pendidik Klinis Ahli Utama, pada Rumah Sakit Umum Pusat dr. Hasan Sadikin- Bandung.
Dr. Ina Rosalina mempresentasikan berbagai perundangan, dan peraturan yang terkait dengan pengembangan obat tradisional. Secara umum, sudah lengkap peraturan yang terkait, tinggal peningkatan implementasinya.
Prof. Dr. Mustofa, Apt., M.Kes., Direktur Direktorat Penelitian UGM dalam sesi tanya jawab, menanyakan kepada Dr. Ina Rosalina bagaimana peraturan pemanfaatan obat herbal di pelayanan kesehatan, seperti di Puskesmas dan Rumah Sakit.
Berita Terkait: Peran Tenaga Kesehatan Pada Pengembangan OT
Kepada masing-masing peserta, antara lain: dr. Rinni Yudhi Pratiwi, MPET, dr. Riswahyuni Widhawati, M.Si., Dr. apt. Kintoko, M.Sc, Alanhar Gumay, Mochammad Subechan, Nanang Rusmana, Sri Rahayu, Noviati, dan Karyanto diberikan kesempatan untuk bicara untuk menyampaikan pandangannya.
Hasil FGD ini akan diperdalam dengan wawancara kepada sejumlah narasumber yang kompeten dan akan dijadikan usulan kepada pemerintah sebagai bagian upaya peningkatan pengembangan obat tradisional.
Latar Belakang
Pemerintah melalui Kementerian Kesehatan telah merumuskan Kebijakan Obat Tradisional Nasional (KOTRANAS) melalui Peraturan Menteri Kesehatan nomor 31/MENKES/SK/III/2007. KOTRANAS memiliki tujuan untuk memenuhi ketersedian obat tradisional (OT) yang terjamin mutu, khasiat serta keamanannya sehingga dapat dimanfaatkan secara luas.
Merespon lambatnya kemajuan pengembangan OT yang terjadi, melalui Keputusan Menko PMK No. 22 tahun 2019 dibentuklah Satgas Percepatan Pengembangan dan Pemanfaatan Fitofarmaka. Selain itu langkah-langkah konkret pengembangan jamu sebagai warisan budaya Indonesia juga mulai kembali didengungkan.
Melihat kenyataan ini Tim Peneliti UGM mencoba untuk mencari jawaban atas permasalahan-permasalahan yang terjadi dalam pengembangan OT di Indonesia terutama di sektor hilir, salah satunya dari sisi praktisi Battra dan dari sisi tim pengarah Battra yakni SP3T. Adapun, secara umum, strategi yang dilakukan peneliti antara lain melalui focus group discussion(FGD), penyebaran kuesioner, dan wawancara dengan stakeholder.
Sehingga peneliti memperoleh gambaran secara utuh permasalahan yang dihadapi dalam pengembangan OT Indonesia. Permasalahan-permasalahan yang berhasil dikumpulkan selanjutnya akan dianalisis untuk dapat dirumuskan jalan keluarnya dan akan dijadikan rekomendasi bagi pengembangan OT ke depan.
Berdasarkan hasil FGD sebelumnya, sektor industri menilai pengembangan OT menuju fitofamaka mengalami hambatan salah satunya karena minimnya pangsa pasar OT di pelayanan kesehatan. Adapun dari pihak praktisi klinis, menyatakan bahwa tumpeng tindih regulasi terkait praktek pelayanan klinis menggunakan OT ditengarai menjadi salah satu bottle neck (faktor utama) penghambat penggunaan obat herbal di ranah pelayanan kesehatan, utamanya di RS konvensional.
Meskipun melalui PP nomor 103 tahun 2014, Pemerintah sudah mendorong pemanfaatan obat tradisional melalui pelayanan kesehatan tradisional di fasilitas kesehatan. Adapun penggunaan OT di kalangan tenaga medis dalam bentuk fitofarmaka pun masih sangat terbatas.
Sebagai ujung tombak pelayanan kesehatan tradisional, Battra menjadi aktor utama pemanfaatan OT kepada masyarakat. Melalui Permenkes No. 61 th 2016, dorongan terhadap penyelenggaraan pelayanan kesehatan tradisional empirik secara eksplisit dirumuskan.
Adapun agar proses pelayanan kesehatan tradisional empiric ini berjalan sesuai dengan koridor kesehatan formal, maka dibentuklah terlebih dahulu SP3T melalui Permenkes No. 90 th 2013.
Pada FGD keempat kali ini kami mengundang beberapa praktisi Battra guna menjaring aspirasi, sebagian SP3T, Aspetri dan Kestraki. Setiap tamu/praktisi yang hadir dalam FGD ini merupakan narasumber utama. Sehingga diharapkan kontribusi aktif dari seluruh peserta.
Dengan memperoleh berbagai informasi, masukan dan evaluasi terkait penggunaan OT dari semua kalangan, peneliti akan mampu mengidentifikasi dan merumuskan beberapa hal penting terkait: a. Kepercayaan praktisi dalam menggunakan OT selama ini, b. Intensitas dan kualitas OT oleh praktisi/profesi pengobatan tradisional Indonesia, c. Aksesibilitas dalam penyediaan OT, dan d. Pandangan Battra, Aspetri, Kestraki dan SP3T terkait pengembangan OT yang diharapkan di masa depan.
Hasil FGD, kuisioner, maupuninterview dalam seluruh proses penelitian akan direkam/didokumentasikan dengan baik, sehingga dapat diolah menjadi acuan kebijakan di masa depan.
Tujuan dari kegiatan ini adalah: a. Memperoleh informasi kondisi terkini pemanfaatan OT oleh praktisi/profesi pengobatan tradisional di Indonesia, b. Mendapatkan gambaran lebih jelas mengenai hambatan dan tantangan pengembangan obat tradisional dari sisi praktisi/profesi pengobatan tradisional. Redaksi JamuDigital.Com