Melacak Jejak Jamu Cekok Tertua di Yogya
Tanggal Posting : Rabu, 12 Juni 2019 | 02:19
Liputan : Redaksi JamuDigital.Com - Dibaca : 9928 Kali
Melacak Jejak Jamu Cekok Tertua di Yogya
Founder JamuDigital, Karyanto bersama dengan Joni Wijanarko (Jaket Hitam)- generasi ke-5 Jampi Asli Cekok Kerkop Yogyakarta di depan Kedai Jampi Asli pada Selasa, 11 Juni 2019.

JamuDigital.Com. Tim Redaksi JamuDigital melacak jejak keberadaan Jamu Cekok Kerkop tertua di Yogyakarta, eksis sejak 1875. Kini Jampi Asli- yang dicekokkan kepada anak-anak ini, dikelola oleh generasi ke-5.

Adalah Joni Wijanarko generasi ke-5 yang sekarang mengelola Jamu Cekok Kerkop. Ditengah derasnya kemajuan zaman, eksistensi Jamu Cekok Kerkop yang pada tahun 2019 ini berusia 144 tahun ini, menjadi legenda bagi masyarakat Yogyakarta.

"Saya bangga, ditengah modernisasi ini, Jamu Cekok warisan leluhur kami, masih dapat eksis melayani masyarakat yang memerlukan Jamu. Khususnya Jamu Cekok untuk meningkatkan nafsu makan anak-anak," ujar Joni Wijanarko, pewaris Jamu Cekok kepada Redaksi JamuDigital.

Jampi Asli, Jamu Tradisional- Jamu Cekok Kerkop berada di Jalan Brigjen Katamso No. 132, Kampung Dipowinatan, Yogyakarta. Lokasinya disebelah utara Pojok Beteng  Wetan, Keraton Yogyakarta Hadiningrat.

Kenapa disebut Jamu Cekok? Karena proses pemberian Jamu kepada Anak-anak dengan cara dicekokkan. Ramuan Jamu ditaruh didalam kain yang bersih, kemudian dicekokkan kepada anak-anak.

Proses mencekoki anak-anak yang akan diberi Jamu cukup mudah. Anak dipangku, kemudian dipegangi kedua tangannya. Dalam istilah Jawa: dipithing. Tujuannya, agar sang anak tidak memberontak, saat dicekoki dengan Jamu untuk penambah nafsu makan, atau keluhan lain seperti batuk dan demam.

Sedangkan nama Kerkop, konon berasal dari kata Kerkoff. Nama sebuah makam yang berada tepat di depan warung Jamu, pada saat itu. Untuk menjangkau lokasi Jamu Cekok di Yogyakarta ini tidak susah. Karena berada sebelah timur Keraton Yogyakarta. Sudah sangat terkenal di Yogyakarta.

Keterangan Foto: Founder JamuDigital, Karyanto menyaksikan proses seorang anak dicekokin Jamu di Jamu Cekok Kerkop, Yogyakarta, Selasa, 11 Juni 2019.

Keterangan Foto: Founder JamuDigital, Karyanto menyaksikan proses seorang anak dicekokin Jamu di Jamu Cekok Kerkop, Yogyakarta, Selasa, 11 Juni 2019.

Legenda dan Anugerah Budaya

Kehadiran Jamu Cekok Kerkop di Yogyakarta yang melegenda ini mendapat Penghargaan Anugerah Budaya pada Tahun 2014 oleh Dinas Kebudayaan Daerah Istimewa Yogyakarta yang diberikan pada 18 Desember 2014 di Bangsal Kepatihan Daerah Istimewa Yogyakarta.

"Ada tiga kategori penghargaan yaitu: Seniman dan Budayawan, Pelestari Cagar Budaya, dan Lembaga dan Pelestari Adat Tradisi. Jamu Cekok mendapat penghargaan Kategori Lembaga dan Pelestrasi Adat Tradisi," ujar Joni Wijanarko bangga.

Dikutip dari Buku Penghargaan Anugerah Budaya Tahun 2014, berikut ini tentang eksistensi Jampi Asli-Jamu Cekok Kulon Kerkop, Yogyakarta.

Berlokasi di Jalan Brigjen Katamso, Nomor 132, Yogyakarta, masyarakat lebih akrab menyebutnya Kulon Kerkop (Barat Makam), tradisi pembuatan dan penjualan jamu cekok masih lestari. Maka tidak berlebihan, jika di dinding kios yang tak terlalu besar itu, terpampang papan nama sederhana dan agak tua: Jampi Asli Kulon Kerkop.

"Kami adalah generasi ke empat," ujar Zaelali (86 tahun- kelahiran 1933)-generasi ke-4, saat ditemui di tempat produksi jamunya, terletak di belakang kios dan menyatu dengan rumahnya yang rapi, bersih, dan tertata, namun bersahaja.

Campuran temulawak, lempuyang emprit, brotowali, temu ireng, dan pepaya sebagai bahan jamu cekok itu, telah dibuat Kartawirya Raharja (generasi 1) pada tahun 1875. Kemudian berturut-turut dilanjutkan Karsawijaya, Abdul Rosyid, Zaelali dan kini diteruskan oleh Joni Wijanarko.

Alkisah, sebagaimana dipaparkan Zaelali yang telah meramu jamu sejak berusia 24 tahun, Kartawirya harus menempuh perjalanan Yogyakarta-Demak dengan berjalan kaki selama tiga hari tiga malam untuk mendapatkan bahan jamunya, sebab kala itu empon-empon tidak bisa didapatkan di Yogyakarta. "Biasanya Simbah menempuh perjalanan itu usai melaksanakan shalat Subuh di masjid ageng," kisahnya.

Naluri dan kecintaan ihwal jamu itulah yang membuat Zaelali menjatuhkan pilihan hidupnya untuk melestarikan warisan moyangnya.

Apakah cekok masih populer di tengah gerusan farmasi modern dengan ikon-ikon iklan super canggih yang terus membobardir tiap waktu? Siang itu, puluhan ibu-ibu muda, dengan penampilan necis menggendong anak-anaknya yang rupawan untuk mendapatkan cekok ramuan Zaelali. Apa saja keluhan mereka?

Ada yang susah makan, susah disapih (lepas ASI), dan sakit-sakitan. Pengalaman ibu-ibu muda itu, sewaktu mereka kecil dulu, turut melanggenggkan tradisi, yang aku mereka, memang terbukti ampuh.

"Dulu, saat masih balita, ibu membawa saya ke sini. Kini anak saya pun saya bawa ke sini. Saya percaya, farmasi tradisional kita tak kalah khasiatnya dibanding dengan farmasi modern," ujar ibu muda yang berdomisili di Semarang. Tidak takut dianggap katrok dan jadul? "Tidak," ujarnya yakin.

Ya, pelanggan Jamu Cekok Kulon Krekop ini tidak hanya masyarakat yang bermukim di Yogyakarta. Tidak sedikit dari mereka yang berasal dari Solo, Purworejo, Surabaya, Jakarta bahkan sampai luar pulau seperti Banjarmasin, Sumatra Utara dan Sulawesi. Mereka yang sudah merasakan khasiatnya, tidak jarang  menelepon dan minta dikirimi jamu mustajab itu.

Zaelali tak hanya piawai meramu jamu cekok, namun ia pun fasih meramu jamu untuk berbagai penyakit, mulai dari bau keringat hingga asam urat, mulai dari gatal-gatal hingga pengeroposan tulang, dan sebagainya.

Menurut Zaelali, tak sedikit mahasiswa farmasi yang bertandang ke markasnya. Ada yang dari UGM, UAD, juga kampus-kampus lain di Jogja. "Mereka sering bertanya tentang khasiat atau kandungan bahan-bahan obat tradisional. Mulai dari temulawak, daun salam, dan sebagainya. Saya jelaskan sebagaimana biasa saya lakukan sehari-hari," kisahnya.

Zaelali berharap, akan makin banyak generasi muda yang sadar dan peduli tentang jamu. "Pengetahuan tentang jamu sangat bermanfaat, tapi jarang yang peduli. Semoga ke depan ada perhatian lebih, karena jamu perlu dilestarikan," pungkasnya. Redaksi JamuDigital.Com


Kolom Komentar
Berita Terkait

JAMU DIGITAL: MEDIA JAMU, NOMOR SATU

Tentang Kami

@ Copyright 2024. All Right Reserved.  www.jamudigital.com

  Link Media Sosial Jamu Digital: