![]() |
Kepala Badan POM RI., Dr. Ir. Penny Kusumastuti Lukito, MCP. memimpin langsung Focus Group Discussion (FGD) Pengembangan Obat Tradisional, pada Senin, 30 April 2018, di Jakarta. |
JamuDigital.Com. Presiden Republik Indonesia, Joko Widodo telah mengeluarkan Instruksi Presiden Republik Indonesia Nomor 6 Tahun 2016, Tentang Percepatan Pengembangan Industri Farmasi dan Alat Kesehatan, pada 8 Juni 2016.
Instruksi Presiden ini mulai berlaku sejak tanggal dikeluarkan, dan diharapkan dapat mewujudkan kemandirian dan meningkatkan daya saing industri farmasi dan alat kesehatan dalam negeri melalui percepatan pengembangan industri farmasi dan alat kesehatan.
Presiden RI., Joko Widodo menugaskan kepada: 1. Menteri Koordinator Bidang Perekonomian; 2. Menteri Koordinator Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan; 3. Menteri Kesehatan; 4. Menteri Keuangan; 5. Menteri Riset, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi; 6. Menteri Perindustrian; 7. Menteri Perdagangan; 8. Menteri Pertanian; 9. Menteri Badan Usaha Milik Negara; 10. Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal; 11. Kepala Badan Pengawas Obat dan Makanan; dan 12. Kepala Lembaga Kebijakan Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah, untuk:
Mengambil langkah-langkah sesuai tugas, fungsi, dan kewenangan masing-masing untuk mendukung percepatan pengembangan industri farmasi dan alat kesehatan, dengan:
- Menjamin ketersediaan sediaan farmasi dan alat kesehatan sebagai upaya peningkatan pelayanan kesehatan dalam rangka Jaminan Kesehatan Nasional;
- Meningkatkan daya saing industri farmasi dan alat kesehatan di dalam negeri dan ekspor;
- Mendorong penguasaan teknologi dan inovasi dalam bidang farmasi dan alat kesehatan;
- Mempercepat kemandirian dan pengembangan produksi bahan baku obat, obat, dan alat kesehatan untuk pemenuhan kebutuhan dalam negeri dan ekspor serta memulihkan dan meningkatkan kegiatan industri/utilisasi kapasitas industri.
Terkait dengan Instruksi Presiden Nomor 6 Tahun 2016, kepada Kepala Badan Pengawas Obat dan Makanan ditugaskan untuk:
- Memfasilitasi pengembangan obat dalam rangka mendukung akses dan ketersediaan obat untuk masyarakat sebagai upaya peningkatan pelayanan kesehatan dalam rangka Jaminan Kesehatan Nasional;
- Mendukung investasi pada sektor industri farmasi dan alat kesehatan melalui fasilitasi dalam proses sertifikasi fasilitas produksi dan penilaian atau evaluasi obat;
- Mendorong pelaku usaha untuk meningkatkan kepatuhan terhadap regulasi dan standar dalam rangka menjamin keamanan, mutu dan khasiat serta peningkatan daya saing industri farmasi.
Prioritas BPOM sejalan dengan rencana aksi tindak lanjut Inpres 6/2016, yaitu: Pengembangan bahan baku obat, produk biologi, dan fitofarmaka.
BPOM telah melakukan berbagai inisiatif dengan melakukan langkah-langkah strategis untuk memajukan obat-obatan dari bahan alam Indonesia, dengan melibatkan lintas sektoral dan para stakeholders, antara lain dengan melakukan FGD pada 12 April dan 30 April 2018, di Jakarta.
Potensi Obat Bahan Alam Indonesia
Potensi obat bahan alam Indonesia sangat besar, dikarenakan Indonesia adalah mega biodiversitas di dunia. Ada dua acara pendekatan potensi tersebut, yaitu:
Pertama, Pendekatan potensi sebagai: Pangan, Empiris pengobatan tradisional. Bahan alam yang terdidi dari: Tumbuhan, Hewan, Mikroba, Biota Laut, Mineral, kemudian dijadikan Simplisia: Pengolahan pascapanen.
Kedua, Pendekatan potensi berdasarkan studi saintifik: Farmakologi, Fitokimia. Tahapannya dengan melalui: Ekstraksi, Fraksi (Ekstraksi dan Fraksinasi), Fraksi Bioaktif (Fraksinasi dan Skrining molekuler), Senyawa Aktif (Fraksinasi, isolasi, dan sintesis) menjadi New Chemical Entities.
Dalam obat konvensional, 50-60% produk farmaseutikal mengandung bahan alam atau hasil sintesisnya; 10-25% obat resep mengandung 1 atau lebih kandungan dari bahan alam tumbuhan. (Sumber: Cameron et al. Linking medicinal/nutraceutical products research with commercialization. Pharm Biol 2005;43:425-433).
Demikian antara lain materi yang disampaikan oleh Dra. Mayagustina Andarini, Apt., M.Sc, Deputi Bidang Pengawasan Obat Tradisional, Suplemen Kesehatan, dan Kosmetik, Badan Pengawas Obat Dan Makanan RI. pada Seminar "Memanfaatkan Obat Herbal Menuju Indonesia Sehat", di Manado, pada 6 Oktober 2018, dengan judul makalah: Kebijakan Pengawasan Obat Tradisional untuk Peningkatan Daya Saing Bangsa.
Inovasi Bioactive Fraction dari DLBS
Berikut wawancara khusus Redaksi JamuDigital.Com dengan Raymond R. Tjandrawinata, Ph.D., M.S, MBA, Executice Director DLBS (Dexa Laboratories of Biomolecular Sciences) Dexa Medica- yang dimuat pada 9 September 2018.
Raymond Tjandrawinata mengisahkan bahwa Dexa Medica didirikan oleh Drs. Letnan Kolonel (Purn.TNI AD), Rudy Soetikno, Apoteker (alm.) dan sejumlah rekan Rudy Soetikno di Palembang, Sumatera Selatan tahun 1969. Kini Dexa Medica menjadi salah satu industri farmasi terbesar di Indonesia. Pada tahun 2005, Dexa Medica mendirikan DLBS.
"Pak Rudy Soetikno sudah lama bercita-cita ingin membangun industri obat dengan mengembangkan riset berbasis bahan alam. Inilah awal kiprah DLBS dibangun dan kemudian mengumpulkan para saintis Indonesia untuk melakukan riset bahan alam Indonesia untuk bahan baku obat dan kemudian memproduksinya menjadi obat herbal," urai Raymond Tjandrawinata mengenang.
Inilah itensi-itensi dari DLBS dalam riset obat dari bahan alam, yaitu: 1. Menemukan bioactive fraction dari bahan alam Indonesia untuk indikasi penyakit tertentu dengan menggunakan molekul target. 2. Mengembangkan produk bahan alam menggunakan pendekatan Farmakologi, baik secara in vitro dan in vivo. 3. Mendapatkan data klinis dari pasien pada penyakit yang diriset. 4. Mengembangkan fraksi/ekstrak yang memenuhi standar kualitas internasional.
Raymond kemudian menambahkan bahwa pengembangan produk bahan alam yang dilakukannya berdasarkan profiling Kimia dengan fase-fase sebagai berikut: Pengeringan, Ekstraksi, Ekstraksi dan Fraksinasi, Fraksionasi diikuti skrining molekuler, Teknologi Fraksinasi, Isolasi dan Sintetis.
Bahan baku yang dihasilkan DLBS merupakan hasil riset sendiri yang berasal dari biodiversitas Indonesia. "Dimulai dari penelitian biomolekuler, percobaan farmakologi hewan hingga uji klinis pada pasien-pasien di berbagai kota di Indonesia," kata Raymond Tjandrawinata menerangkan.
Keberhasilan DLBS PT. Dexa Medica memproduksi bahan baku aktif obat herbal ini, tentu saja akan mendukung program pemerintah dalam kemandirian bahan baku obat nasional. Yang tidak kalah penting adalah memberikan nilai tambah bagi Indonesia, karena bahan baku aktif obat herbal dari DLBS ini dipatenkan di Indonesia dan di Internasional melalui skema Patent Cooperation Treaty.
DLBS memiliki 56 paten di berbagai negara (Amerika, Eropa, Australia, Jepang, Korea, dan beberapa negara lain), dan 10 paten di Indonesia.
Lebih jauh Raymond Tjandrawinata memaparkan bahwa formulasi produk-produk obat herbal inovasi DLBS menggunakan metode pendekatan Tandem Chemistry Expression Bioassay System (TCEBS). Yaitu kombinasi teknik kimia, biokimia, serta farmakologi modern yang diaplikasikan untuk menapis berbagai bahan alam potensial untuk menjadi kandidat obat.
DLBS juga menggunakan Teknologi Advance Fractionation Technology (AFT), dalam proses pembuatan ekstraksi bertingkat untuk menemukan fraksi spesifik yang tepat untuk mengobati penyakit. Bioactive fraction yang dihasilkan memiliki kemurnian yang lebih tinggi dibandingkan dengan ekstrak biasa.
DLBS menggunakan sumber-sumber kehidupan organisme seperti tumbuhan, hewan, dan mikroba untuk bahan risetnya, agar menemukan obat-obat baru dari bahan alam Indonesia. "DLBS kini menjadi rumah bagi para periset handal Tanah Air. Saat ini sudah lebih dari 160 saintis putra-putri Indonesia yang memiliki kompetensi berbagai disiplin ilmu, baik lulusan Dalam Negeri dan Luar Negeri.
"Kami sedang mengembangkan sekitar dua puluhan obat baru dari bahan alam Indonesia. Obat herbal ini kelak dapat diresepkan oleh dokter. Ini tantangan bagi para saintis yang mendedikasikan ilmunya di DLBS. Menemukan obat baru dari bahan alam Indonesia adalah kebanggaan dan kepuasan tersendiri bagi seorang saintis," Raymond menegaskan.
Untuk itu, Raymond mengharapkan agar obat herbal Indonesia yang telah teruji klinis dapat menjadi bagian program BPJS, masuk di formularium obat nasional. Indonesia sebagai negara mega biodiversitas dunia, memiliki lebih 30.000 tanaman obat, namun belum ada satupun obat herbal yang masuk di formularium obat nasional.
Di tengah program percepatan kemandirian di bidang farmasi yang dijadikan salah satu program unggulan Pemerintah saat ini, maka membuka akses agar obat herbal yang sudah teruji klinis dipakai pada program BPJS, akan menstimuli pengusaha herbal untuk melakukan uji klinis produk obat herbalnya.
Produk DBLS yang sudah masuk kategori fitofarmaka dan sudah dipasarkan antara lain: Stimuno (Sistem Imun), Levitens (Hipertensi), Inlacin (Diabetes) dan Resindex (Diabetes).
Keunggulan DLBS antara lain memanfaatkan biodiversitas Indonesia, mengimplementasikan prinsip Farmakologi dan Bioteknologi, melakukan uji klinik untuk melengkapi medical-evidence, memproduksi bahan baku obat herbal berdasarkan CPOTB-IEBA (Cara Produksi Obat Tradisional yang Baik-Industri Ekstrak Bahan Alam), dan sarat dengan Intellectual Property Right (HaKI), ungkap Raymond mengakhiri wawancara. Redaksi JamuDigital.Com.