GP. Jamu Jawa Barat pada Rabu, 7 Oktober 2020 mengadakan webinar Proses Sertifikasi Halal 2020, pembicara: Doktor Akhmad Endang Zainal Hasan,M.Si. |
JamuDigital.Com-PIONER MEDIA ONLINE & MARKETPLACE JAMU INDONESIA. Pengusaha Jamu harus memahami tentang sebelas Kriteria SJH (Sistem Jaminan Halal), dalam rangka melakukan proses tahapan sertifikasi halal.
Hal ini terungkap pada saat webinar yang diadakan oleh DPD GP. Jamu Jawa Barat pada Rabu, 7 Oktober 2020, dengan tema "Proses Sertifikasi Halal 2020", menampilkan pembicara: Dr. Ir. Akhmad Endang Zainal Hasan, M.Si, Departemen Biokimia, FMIPA IPB. Dipandu oleh Edi Junaidi dan Astria.
Kepala Balai Besar POM, Jawa Barat, Dra. Hardaningsih, Apt., MHSM dalam sambutannya mengajak agar supaya Jamu digemari milenia dengan menyediakan produk Jamu yang tidak pahit, dan perlu dikembangkan Cafe Jamu untuk milenia, sehingga budaya minum Jamu tidak hilang- makin berkembang di masa mendatang.
Ketua DPD GP. Jamu Jawa Barat, Erna Setiyawati menjelaskan kegiatan webinar yang dilakukan oleh DPD GP. Jamu Jawa Barat ini dilakukan dalam beberapa serial dengan berbagai tema yang terkait dengan usaha Jamu. "Webinar kali ini, merupakan kerjasama GP. Jamu Jawa Barat dengan IPB dalam Program Dosen Mengabdi," kata Erna Setiyawati.
"Saya apresiasi kegiatan webinar dari GP. Jamu Jawa Barat ini, dan juga berbagai kegiatan sosial lainnya, seperti baksos di berbagai kesempatan, termasuk pada saat COVID-19 ini," ungkap Ketua Umum GP. Jamu, Dwi Ranny Pertiwi Zarman yang ikut menyimak webinar ini.
Zainal Hasan diawal presentasinya menjelaskan landasan hukumnya, yaitu: Peraturan tentang Jaminan Halal: UU Nomor 33 Tahun 2014 Tentang Jaminan Produk Halal (JPH), Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 31 Tahun 2019 tentang Implementasi JPH, dan Peraturan Menteri Agama (PMA) Nomor 26 Tahun 2019 tentang Penyelenggaraan JPH.
Dipaparkan pula tentang kebutuhan pasar halal:
- Populasi muslim di dunia sebesar 28,68% dari populasi dunia, atau sebanayak 2,18 miliar (muslimpopulation.com, 2019).
- Permintaan pasar untuk produk-produk Islam sangat besar.
- Populasi Muslim di Indonesia merupakan jumlah terbesar Muslim terbesar di Dunia.
- Halal menjadi issue yang sangat sensitif di Indonesia
- Tren Wisata Halal yang mulai mendunia
Sejarah Sertifikasi Halal Di Indonesia. Labelisasi halal terhadap produk pangan di Indonesia telah dimulai sejak akhir tahun 1976 oleh Kementerian Kesehatan. Surat Keputusan Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia, Nomor 280/Men.Kes/Per/XI/76.
Sertifikasi oleh MUI, 1989. Kasus Lemak Babi. Surat Keputusan MUI, Nomor Kep./18/MUI/I/1989, Sertifikasi Bersama Tiga Institusi, Sertifikat dari MUI. Surat Keputusan Nomor 924/Menkes/SK/VIII/1996.
Sertifikasi oleh MUI. Sertifikat halal yang dikeluarkan oleh MUI menjadi syarat untuk mencantumkan logo atau label halal pada produk, dan BPJPH. 2019.
Sistem Jaminan Halal. Dokumen yang mendeskripsikan tata cara penerapan 11 kriteria sistem jaminan halal di perusahaan berdasarkan ruang lingkup. Karakteristik: Harus mencerminkan proses bisnis perusahaan, Harus terpisah dengan manual sistem lainnya.
Berita Terkait: Sosialisasi Sertifikasi Halal GP. Jamu Jateng
Zainal Hasan kemudian menjelaskan tentang; Sebelas Kriteria Sistem Jaminan Halal yang Perlu Diterapkan Pelaku Usaha.
11 Kriteria Sistem Jaminan Halal
Pertama, Kebijakan Halal. Manajemen Puncak harus menetapkan Kebijakan Halal dan mensosialisasikan kebijakan halal kepada seluruh pemangku kepentingan (stakeholders) perusahaan.
Kedua, Tim Manajemen Halal. Manajemen Puncak harus menetapkan Tim Manajemen Halal yang mencakup semua bagian yang terlibat dalam aktivitas kritis serta memiliki tugas, tanggungjawab dan wewenang yang jelas
Ketiga, Pelatihan dan Edukasi. Perusahaan harus mempunyai prosedur tertulis pelaksanaan pelatihan. Pelatihan internal harus dilaksanakan minimal setahun sekali dan pelatihan eksternal harus dilaksanakan minimal dua tahun sekali.
Keempat, Bahan. Bahan yang digunakan dalam pembuatan produk yang disertifikasi tidak boleh berasal dari bahan haram atau najis. Perusahaan harus mempunyai dokumen pendukung untuk semua bahan yang digunakan, kecuali bahan tidak kritis atau bahan yang dibeli secara retail.
Kelima, Produk. Karakteristik/profil sensori produk tidak boleh memiliki kecenderungan bau atau rasa yang mengarah kepada produk haram atau yang telah dinyatakan haram berdasarkan fatwa MUI. Merk/nama produk yang didaftarkan untuk disertifikasi tidak boleh menggunakan nama yang mengarah pada sesuatu yang diharamkan atau ibadah yang tidak sesuai dengan syariah Islam. Produk pangan eceran (retail) dengan merk sama yang beredar di Indonesia harus didaftarkan seluruhnya untuk sertifikasi, tidak boleh jika hanya didaftarkan sebagian.
Keenam, Fasilitas Produksi. a. Industri pengolahan: (i) Fasilitas produksi harus menjamin tidak adanya kontaminasi silang dengan bahan/produk yang haram/najis; (ii) Fasilitas produksi dapat digunakan secara bergantian untuk menghasilkan produk yang disertifikasi dan produk yang tidak disertifikasi selama tidak mengandung bahan yang berasal dari babi/turunannya, namun harus ada prosedur yang menjamin tidak terjadi kontaminasi silang. b dan c, untuk restoran dan rumah potong hewan.
Ketujuh, Prosedur Tertulis Aktivitas Kritis. Perusahaan harus mempunyai prosedur tertulis mengenai pelaksanaan aktivitas kritis, yaitu aktivitas pada rantai produksi yang dapat mempengaruhi status kehalalan produk.
Aktivitas kritis dapat mencakup seleksi bahan baru, pembelian bahan, pemeriksaan bahan datang, formulasi produk, produksi, pencucian fasilitas produksi dan peralatan pembantu, penyimpanan dan penanganan bahan dan produk, transportasi, pemajangan (display), aturan pengunjung, penentuan menu, pemingsanan, penyembelihan, disesuaikan dengan proses bisnis perusahaan (industri pengolahan, RPH, restoran/katering/dapur). Prosedur tertulis aktivitas kritis dapat dibuat terintegrasi dengan prosedur sistem yang lain.
Kedelapan, Kemampuan Telusur (Traceability). Perusahaan harus mempunyai prosedur tertulis untuk menjamin kemampuan telusur produk yang disertifikasi berasal dari bahan yang memenuhi kriteria (disetujui LPPOM MUI) dan diproduksi di fasilitas produksi yang memenuhi kriteria (bebas dari bahan babi/ turunannya).
Kesembilan, Penanganan Produk yang Tidak Memenuhi Kriteria. Perusahaan harus mempunyai prosedur tertulis untuk menangani produk yang tidak memenuhi kriteria, yaitu tidak dijual ke konsumen yang mempersyaratkan produk halal dan jika terlanjur dijual maka harus ditarik.
Kesepuluh, Audit Internal. Perusahaan harus mempunyai prosedur tertulis audit internal pelaksanaan SJH. Audit internal dilakukan setidaknya enam bulan sekali dan dilaksanakan oleh auditor halal internal yang kompeten dan independen. Hasil audit internal disampaikan ke LPPOM MUI dalam bentuk laporan berkala setiap 6 (enam) bulan sekali.
Kesebelas, Kaji Ulang Manajemen. Manajemen Puncak atau wakilnya harus melakukan kaji ulang manajemen minimal satu kali dalam satu tahun, dengan tujuan untuk menilai efektifitas penerapan SJH dan merumuskan perbaikan berkelanjutan.
Layanan ke LPPOM MUI
- Cerol Services LPPOM MUI, services@halalmui.org, +62 811-1148-696 (chat only), Call Center 14056: Persyaratan sertifikasi halal, Teknis aplikasi Cerol-SS23000, Pertanyaan/keluhan tentang sertifikasi halal
- LSP LPPOM MUI, info@lsphalalmui.com, www.lsphalalmui.com, +62 251 8380858: Uji kompetensi personil
- Laboratorium LPPOM MUI, labhalal@halalmui.org, +62 811-1139-207 (call only): Jasa analisa bahan, Pengembangan penelitian
- IHATEC, info@ihatec.com, +62 811-1145-060: Pelatihan reguler/inhouse, Konsultasi sertifikasi halal. Redaksi JamuDigital.Com